PERJALANAN HIDUP

PROLOG
Jumat malam, 8 Maret 2013, Suami/Papa/Opa kami dipanggil menemui sang Pencipta pada usia 72 tahun. Usia yang cukup panjang untuk belajar, bekerja, menyebar kebaikan,  dan menikmati kehidupan.

Kepergiannya sedemikian mendadak hingga kami masih merasa ia masih akan datang. Tak mudah merasakan bahwa ia telah tiada karena masih banyak kebaikan yang ia buat masih terasa. Tak mudah pula kami menghilangkan rasa duka karena banyak kenangan yang tidak akan terulang. Namun, kami harus ikhlas menerima bahwa ia telah tiada.

Semoga Allah menerima amal ibadahmu
Semoga Allah mengampuni segala dosamu

 
Tulisan ini dibuat untuk mengenang perjalanan  hidup  Almarhum. Semoga kisah singkat ini dapat menjadi teladan bagi kita untuk tetap belajar, bekerja, menolong orang, dan menikmati indahnya alam selama kita masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Terima kasih kepada seluruh keluarga, kerabat, sahabat, teman, dan pihak  yang telah membantu dan menolong selama HANS hidup hingga dimakamkan. Mohon maaf atas kesalahan bila ada penulisan nama yang tidak termuat atau keliru dalam tulisan ini.

 

BERAWAL DARI BOGOR
 

Hans Mansjoer (HANS) dilahirkan di Bogor, 30 Desember 1940 dari pasangan Mohammad Mansjoer dan Yohana Mansjoer (van der Werff). Ia anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya bernama Ikin Mansjoer. Ayahnya saat itu adalah kepala Balai Penelitian Veteriner Bogor yang sebelumnya bertugas di Makassar. Kakek dari pihak ayahnya adalah Haji Asikin Mansjoer, seorang petani dari Cianjur yang memiliki 5 orang anak, yaitu
  • Agus Mugni (menikah dengan Siti Fatmah), anak-anak: Tien Surtini, Aziz Mugni, Dedet Sadiah, Hanny;
  • Mohammad Mansjoer (menikah dengan Yohana van der Werff), anak-anak: Ikin Mansjoer dan Hans Mansjoer;
  • A. Mufti (menikah dengan Suryati), anak-anak: (Tietje, Agus Abdurachman, Moh. Sidik, Moh. Idris, Ahmad Saleh, Amin Hidayat, Usman Husein, Emy Ratnawati, Marlinah, Hasan Machmud, Husin Machfud;
  • Munir (menikah dengan Mumun), anak: Ade Muhammad Sirod; 
  • Halimah (menikah dengan Endang)
Sedangkan kakeknya dari pihak ibunya adalah Willem Hendrik Edward van der Werff, yang memiliki anak dari istri keduanya Riwakita, yaitu: Johanna, Pieter, Adrian, Geertruida, Cornelia, dan Kornelis; sedangkan dari istri pertama diketahui ia memiliki dua anak, yaitu Caroline (menikah dengan Chris Kastanya) dan Dorien (menikah dengan van der Hop)*.

*) masih dalam penelusuran




Pasangan Yohana dan Mohammad Mansjoer (orang tua HANS)

HANS kecil dipangku IKIN (tahun 1942)


HANS kecil di samping IKIN (tahun 2012)
Kota Bogor adalah tempat masa kecil HANS dan IKIN hingga tamat SMA tahun 1958. Setelah itu ia sempat melanjutkan pendidikan di Akademi Teknik Negara di Jakarta bersama kakaknya. Belum satu tahun berselang, ayah mereka yang berada di Bogor sakit berat. Dokter menyatakan umur ayah mereka tidak lama lagi. Kemudian dua Mansjoer bersaudara bersepakat mengikuti kehendak ayahnya agar mereka melanjutkan pendidikan di bidang kedokteran. Mereka keluar dari pendidikan yang sedang dijalani di Jakarta dan melanjutkan pendidikan Kedokteran. Tahun 1960 HANS masuk Fakultas Kedokteran Umum Universitas Padjadjaran Bandung dan IKIN masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (Saat ini dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor).

 
DUNIA KEDOKTERAN
Masa tahun pertama cukup berat dilalui namun tahun kedua pendidikan kedokteran semakin lancar. Ia tergabung dalam kelompok belajar NN, yang terdiri dari Anum Hidayat, Ardia Gumiwang (Dodi), Fisalma Aman (Derry), Hans Mansjoer, Johan Syafri Masjhur (JSM), Zacarja Jacob Manoe, Siti Aminah (Mieke), dan Rachmadijah Zuryati Yasin (Yeti), Ridad Agus. Mentor mereka adalah Ina Dalwina Aman.

Kawan akrab HANS yang sering menjadi panitia dan aktif berorganisasi adalah Achmad Biben, Ponpon Soffandi Ijradinata, Hanny Prihatni Djundjunan, Gantira Natadisastra, Hendrawan, Waatje, Salman, Rerry, Alfred, Hanna, Oekje, Alfred, dll

Tahun ketiga ia menjadi asisten dosen parasitologi di bawah pimpinan Prof Dr Holz. HANS lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebagai dokter umum tanggal 1 Juni 1967.

Pertemanan dengan DERRY berlanjut hubungannya ke jenjang pernikahan 15 September 1967.








BELAJAR DI JERMAN
 



HANS melanjutkan pendidikan pasca sarjana dengan pengambilan Doktor Arbeit dalam bidang Ilmu Parasitologi di Universtas Bonn, Jerman, tahun 1971. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ahli di bidang Ilmu Penyakit Dalam di Jerman. Selama pendidikan ia juga mendapat kesempatan untuk mempelajari bidang angiologi secara klinis maupun radiologis. Satu tahun kemudian DERRY menyusul ke Jerman dan juga melanjutkan pendidikan bidang kulit dan kelamin. Selama satu tahun, mereka harus hidup di kota yang berbeda. HANS di Bonn dan Derry di Krefeld. Akhirnya tahun 1974 mereka bisa tinggal bersama di Krefeld, lalu pindah Engelskirchen (dekat Dusseldorf).

HANS dan DERRY pun memiliki banyak teman dari negara Jerman. KLAUS dan WALTRAUD adalah salah satu pasangan yang dikenalnya di Jerman dan hingga saat ini mereka terus menyempatkan diri untuk datang ke Indonesia secara berkala. Klaus adalah guru, penulis buku Atlas Dunia, dan fotografer sedangkan Waltraud adalah guru dan pelukis.




Waltraud dan Klaus

Saat berada di Jerman anak pertama, ARIF MANSJOER, lahir di Krefeld tahun 1973 dan anak kedua, MIRANTI  MANSJOER, lahir di Lindlar tahun 1976.


KEMBALI KE BOGOR
Saat kembali ke Indonesia, HANS dan keluarga tinggal di Bogor. HANS menjalani masa adaptasi di FK UNPAD Bandung dan DERRY menjalani adaptasi di FKUI Jakarta.


TUGAS BENGKULU
Setelah menjalani masa adaptasi, HANS dan juga DERRY beserta keluarga pindah ke Bengkulu untuk menjalani Wajib Kerja Sarjana (WKS) di RSUD Bengkulu (daerah Anggut). Bertugas di Bengkulu saat itu bukan hal yang mudah, mereka harus membawa kedua anak mereka yang masih kecil ke daerah (walau kota) yang belum memiliki fasilitas transport, komunikasi, dan listrik yang memadai. Saat itu sapi-sapi merupakan hewan ternak yang sering kali menghalangi kendaraan di jalan, termasuk jalan jalan di Bandara dan kantor Gubernur.

Awalnya mereka tinggal di rumah Deddy kemudian mendapat rumah sementara di kompleks DPR. Jalan  menuju rumah harus ditempuh melalui jalan tanah yang bila hujan akan berlumpur. Seringkali mobil terjebak karena ‘selip’ tidak bisa menanjak sehingga penumpang harus turun dan berjalan. Listrik pun belum masuk ke daerah tersebut. Namun hal itu berlalu setelah rumah dinas dokter spesialis di Kompleks Kesehatan Padang Harapan selesai dibangun. Letaknya tidak jauh dari RSU Bengkulu di Padang Harapan yang baru dibangun. Hari demi hari berlalu, dengan tetangga yang ramah, sejawat yang penuh perhatian, aparat pemerintah yang bersahabat, serta keindahan budaya dan alam membuat kesan baik selama tinggal di Bengkulu.

Hari Minggu adalah hari yang ditunggu. Berbekal nasi dan lauk, serta es plastik yang berisi sirup, kacang hijau, atau ketan hitam, HANS dan keluarga sering berwisata ke Pantai Nala dan Pantai Panjang. Wisata lain adalah ke Sungai Tabah Penanjung, Danau Dendam Tak Sudah, dan Benteng Marlboro. membuat kesan Kadang HANS membonceng anaknya ke kompleks kesehatan di Nusa Indah, mengunjungi dokter-dokter yang bertugas di Bengkulu saat itu, Ngudihardjo, Deddy Abubakar, dan Mulyadi.

Duren yang diolah menjadi lempo merupakan buah-buahan yang menjadi andalan bila membawa oleh-oleh keluar bengkulu. Setiap tahun ada arak-arakan Tabot.

HANS dan DERRY awalnya bertugas sebagai ahli penyakit dalam dan ahli penyakit kulit dan kelamin RSUD Bengkulu bertempat di daerah Anggut. RSUD Bengkulu kemudian pindah ke daerah Padang Harapan. Setiap bulan mereka mendapat tugas melakukan pelayanan kesehatan ke daerah Curup, Manna, dan Arga Makmur. Untuk mencapai daerah-daerah tersebut bila banjir mobil tidak bisa lewat jembatan dan harus diangkut dengan rakit.

Bulan Mei 1980, HANS diangkat menjadi Kepala RS menggantikan dokter Ngudiharjo. Kerjasama yang baik dengan Gubernur Bengkulu Pak Suprapto dan Kakanwil Pak Cholid Hanafiah membuat RSU Provinsi Dati I Bengkulu semakin maju. Tak jarang HANS harus berada di RS pada hari Minggu untuk mengatasi masalah teknis yang ada. HANS juga ikut bersama dokter-dokter lain mendirikan RSB Rafflesia (Adam Malik).

Tahun 1982 pun tiba, masa WKS telah berakhir. HANS pun mengajukan permohonan untuk melanjutkan pendidikan Kardiovaskular di Jakarta. Permohonan diterima, HANS dan keluarga meninggalkan Bengkulu. Dokter Suyudi (yang kelak menjadi Menteri Kesehatan RI) menggantikanya sebagai kepala RSU Provinsi Bengkulu. Persahabatan dengan teman-teman dokter yang bertugas di Bengkulu masih terjalin hingga saat ini.

 

PINDAH KE JAKARTA
Sejak tahun 1982 di Jakarta, ia melanjutkan pendidikan Konsultan Kardiovaskular di Subbagian Kardiologi Penyakit Dalam (SKPD). Dua orang yang dikagumi dan dibicarakan oleh HANS adalah Prof Supartondo dan Prof Santoso. Saking akrabnya, mereka kalau bicara dengan bahasa Belanda, bahasa yang telah HANS kenal sejak kecil.

Setelah menyelesaikan pendidikan konsultan kardio-vaskular, HANS menjadi staf di Subbagian Kardiologi  Bagian Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 1994. Atas arahan Prof Supartondo, ia diangkat menjadi Kepala Instalasi Rawat Inap B (IRNA B). Ia juga mengembangkan ruang rawat Paviliun Melati di lantai 6 dan 7 IRNA B.

Selama di Jakarta HANS tinggal di Kelapa Gading. Hingga saat terakhir, HANS berpraktik di Sukmul Tanjung Priok, sebuah rumah sakit yang didirikan oleh Dr Sismadi. Selain itu HANS bekerja di Garuda Sentra Medika dan Penerbangan Sipil (Pensip).


HOBI FOTOGRAFI
Fotografi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup HANS. Perkembangan kamera diikuti dari masa ke masa. Format foto hitam putih dan berwarna 6x7 mm, 35 mm, hingga digital pernah dialaminya. Keterampilan mencuci film di kamar gelap hingga mengolah foto dengan program komputer dikuasainya. Tahun 1985 HANS bersama Maman, Aos, dan Jaya, mengembangkan pelayanan ‘Retina Color Slide’ yang melayani pembuatan slide film positif 35 mm yang digunakan untuk presentasi pada era slide. Era slide ini perlahan berakhir dengan berkembangnya program komputer PowerPoint dan proyektor digital. HANS pernah diminta menjadi pembicara tentang Media Audio Visual, baik di FKUI Jakarta dan FK-UNUD Denpasar Bali.

Hingga saat terakhir HANS senang membuat foto binatang, bunga, tanaman, pemandangan, dan profil muka dari tempat-tempat wisata alam dan sosial yang didatanginya.


MATAHARI, PASIR, OMBAK, dan ANGIN LAUT
Menikmati sinar matahari, butiran pasir, deburan ombak, dan tiupan angin laut merupakan kesenangan yang selalu ingin dibagi oleh HANS tidak hanya ke keluarga tetapi juga ke semua orang yang dikenalnya.

Di Bengkulu, hal tersebut dapat dinikmati di Pantai Panjang dan Pantai Nala. Sejak tinggal di Jakarta tahun 1982, perjalanan menikmati alam tersebut beralih dengan mengujungi Kepulauan Seribu, seperti pulau Monyet (Wanara) dan pulau Rambut. Pulau Sangiang yang berada di selat Sunda beberapa kali menjadi tujuan perjalanan hingga tahun 1990. Di sinilah dimulai acara baksos wisata

Sejak perjalanan pertama ke Ujung Kulon tahun 1990, HANS hampir setiap tahun mengadakan perjalanan wisata dan bakti sosial ke Ujung Kulon. HANS selalu ingin berbagi kesenangan dan nikmatnya alam Ujung Kulon dan mengajak orang-orang yang dikenalnya.

Perjalanan darat dengan kondisi jalan rusak berat di malam hari yang memakan waktu 10 jam hingga Taman Jaya untuk melakukan bakti sosial. Perjalanan yang mengikutsertakan hingga 60-80 orang dari beraneka profesi ini dilanjutkan dengan menyeberangi teluk menggunakan kapal hingga melewati Pulau Handeuleum, Tanjung Alang-alang, Pulau Peucang dan akhirnya setelah 4 jam digoyang ombak dan diterpa angin laut, kapal mendarat di Cibom. Cibom merupakan basecamp dari kegiatan di Ujung Kulon. Dari Cibom rombongan biasanya terbagi dua. Rombongan pertama melanjutkan perjalanan ke Sanghyang Sirah dan rombongan kedua tetap di basecamp dan menikmati perjalanan singkat ke Mercusuar atau melihat rusa di Cidaon.

Perjalanan ke Sanghyang Sirah merupakan pengalaman dengan aneka ‘rasa’, awalnya rombongan harus menembus perbukitan menuju Cibunar dan memakan waktu 1-2 jam. Setelah itu rombongan menyusuri pantai ke arah timur. Satu jam perjalanan, rombongan beristirahat di muara sungai Ciramea. Perjalanan dilanjutkan kembali, menembus bukit, menyusuri pantai, menembus bukit, menyusuri pantai, hingga tiba di Sanghyang Sirah sore harinya. Suasana gunung ada, suasana sungai ada, suasana pantai ada. Teriknya matahari, butiran pasir, deburan ombak, dan tiupan angin saat menuju Sanghyang Sirah menjadi pengalaman tak terlupa bagi yang pernah ke sana. Sanghyang Sirah adalah suatu daerah berupa teluk kecil dengan beberapa batu besar yang menghalangi datangnya ombak besar. Di sisi darat terdapat tebing dengan gua yang dapat dimasuki, Gua Sanghyang Sirah. Setelah bermalam di mulut gua Sanghyang sirah dan beratapkan langit, rombongan kembali ke Cibom.

Perjalanan ke Ujung Kulon bagaikan ritual tahunan. Para peserta yang berulang kali ikut sudah tahu perannya masing-masing. Rizki dan Deki bertugas dalam hal mengatur perjalanan belasan mobil dari Jakarta ke Taman Jaya. Yuni, Imas, Ninik, dll bertugas membuat acara sosial di Taman Jaya dan acara gembira di Cibom. Dokter Zainal, Petrus, Devy, Hanafi, Indrawati, Etty mengadakan pengobatan dan operasi di Taman Jaya. Bu Tati, Nerti, Sri, dkk bertugas di bagian konsumsi atau dapur umum. Maman dan Aos bertugas dalam hal dokumentasi. Pak Edo dan Zulham bertanggung jawab masalah komunikasi dan perlistrikan. Tak ketinggalan pak Komar (Taman Jaya) yang bertugas mengatur kapal dan keberangkatan rombongan dari Taman Jaya ke Cibom.

Sejak mengenal Ujungkulon, Ujungkulon dengan Menara Pengawas, Cidaon, Ciramea, Sanghyang Sirah menjadi wahana berbagi rasa, semangat, dan keindahan alam. Orang-orang yang pernah ikut kebanyakan akan mengajak teman dan kerabatnya untuk ikut pada perjalanan ke Ujungkulon berikutnya dan seterusnya, hingga pada perjalanan 2006 (sebelum gempa Jogja) terhitung lebih dari 200 orang pernah diajak ke Ujung Kulon. Petugas mercu suar pun sudah menjadi kenalan baik.

Selain Ujung Kulon, HANS juga pernah wisata sosial ke Abah Anom di Ciptagelar dan ke Badui Lebak, Banten Selatan; Muara Binuangan; Pulau Sebesi; Malimping, Ciamis.

 

PERJALANAN KE PAPUA
Sejak perkenalannya dengan Ranley dan John Mansawa, perjalanan ke Papua khususnya Raja Ampat dan Biak menjadi tujuan HANS pada tahun-tahun terakhirnya. Wisata alam, wisata sosial, dan bakti sosial menjadi kegiatan yang rutin dilakukan setiap tahun di tanah Papua, antara lain di Waisai, Marandan Weser, Sauwandarek, Yepnanas, Wayag.

Beberapa kali ia bersama beberapa pilot Garuda (Bambang Oetomo, Hasyim, Alamsyah (Uyung),Anthony, serta Mayasari, Abi, serta  tim garuda lain mengadakan bakti sosial di Biak, antara lain di Pulau Bromsi, Runi dan Ayau. Teman-teman dari tim medis yang juga berpartisipasi adalah Petrus dan Devy, Etty dan Rasyid, Niniek, Yuni, Holy, Indrawati, dan Daniel, Letty dan Andy Gunawan. HANS sempat berkunjung ke Diving Resort Max Amer. Bakti sosial terakhir di Anggaduber tgl 25 November 2013. Pada acara tersebut HANS pulang lebih dahulu dari rombongan tgl 29 November 2013. 



PERSAHABATAN
Persahabatan merupakan hal yang sangat penting bagi HANS. Hingga akhir hayatnya, HANS masih menjalin persahabatan dengan teman-teman kuliah dan kawan dari Jerman, baik saling mengunjungi, telepon  atau melalui email.


ULANG TAHUN 30 DESEMBER 2012
Hari ulang tahun terakhir berbeda dari biasanya. Ia mengundang keluarga, teman seperjalanan, dan rekan rumah sakit. Ia membuat foto dengan tiap keluarga perawat dan rombongan, langsung mencetaknya, dan membagikannya ke masing-masing keluarga atau rombongan tersebut saat pulang. Wig ‘kribo’ Papua dipakainya. Ia sangat senang hari itu.

 

PENUTUP

HANS selalu ingin menyenangkan dan tidak mau menyusahkan orang lain. Ia tidak menilai orang lain dari jabatannya, dikenal ringan tangan menolong orang yang susah sesegera mungkin. Ia selalu mau mengerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin sebenarnya ia perlu dibantu.

Sejak diketahui mengalami masalah jantung, ia tidak mau penyakitnya mengganggu aktivitas dan semangatnya. Dalam pengobatannya HANS dibantu sahabatnya Prof Teguh Santoso dan dr M. Yamin. HANS sangat senang, walaupun kesehatannya terganggu ia masih dapat ‘bertualang’ ke Papua, November 2012.

Hari Jumat, 8 Maret 2013, seperti hari biasa-biasa. Ia masih merencanakan perjalanan ke Raja Ampat pada bulan Mei 2013. Manusia bisa berencana, namun Tuhanlah yang menentukan segalanya. Pada hari itu di rumah setelah mandi, sepulang praktik di RS Sukmul, HANS meninggal dunia pukul 23.00. Keesokkan harinya, jenasahnya dikebumikan di Pemakaman Sarijadi, Jl. Sari Manis 4, Cibarunai, Bandung.

HANS memiliki 2 menantu dan 4 cucu. Dua  cucu dari ARIF dan WAHYU IKA WARDHANI, yaitu FANESHA dan  GAVIN; dan dua cucu dari MIRANTI dan DONNY MIRAZA, yaitu ALIA dan RAFFI. 



2 komentar:

  1. Halo kaaa.. aku salah satu pasiennya dr. Fisalma dr kecil. Sekarang ini dr Fisalma masi buka praktek ga ya? Mandiri jg gapapa.. Mohon infonya kak. Karena aku udh cocok bgt sm beliau..

    Saat ini sulit nemuin dr kulit yg paten...

    BalasHapus